Menjadi Orang Besar
Saudaraku,
Kita semua bisa menjadi orang besar. Kita semua bisa seperti para orang tua,
para guru, para pejuang, para pahlawan yang telah meninggalkan jejak
kehidupannya penuh nilai itu. Kita semua bisa menjadi seperti mereka yang telah
melukis perjalanan hidupnya dengan penuh prestasi. Karena sesungguhnya kita
mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi seperti mereka. Karena kita
sebenarnya mempunyai kemampuan untuk memahat hidup ini dengan sangat indah,
seperti yang kita mampu dan kita inginkan.
Ingatlah
saudaraku,
Hidup ini tidak mungkin dan tidak pernah sia-sia, bagaimanapun keadaan kita.
Merasa sia-sia dalam hidup adalah salah satu perasaan yang selalu
ditumbuhsuburkan oleh syaitan yang ingin kita tidak berkutik, mati, dan tidak
mampu melihat banyak kebaikan. Sama saja seperti bisikan jahatnya saat kita
merasa sia-sia dan merasa percuma bertaubat kepada Allah lantaran sudah
terlampau banyak dosa.
Atau
merasa percuma melakukan ketaatan karena malu dengan tumpukan dosa yang sudah
terlalu banyak dilakukan. Sama dengan perasaan kita tak mempunyai apa-apa yang
bisa disumbangkan dalam kehidupan yang baik, lantaran karena keadaan kita
sangat jauh lebih buruk dari pada orang lain. Perasaan-perasaan ‘mati’ seperti
itulah yang membuat kita takluk dan tidak mampu meraba banyak sekali kebaikan
yang Allah berikan di hadapan kita.
Semoga
Allah merahmati seorang yang buta dari sahabat Rasulullah saw yang tetap
memaksa untuk ikut berjihad bersama Rasulullah. Ketika para sahabat mengatakan,
bahwa Allah telah memberi rukhsah (keringanan) kepadanya untuk tidak berjihad
karena kebutaannya, ia dengan tegas hanya mengatakan, “Uriidu an ukatsira
sawadal muslimin,” aku hanya ingin memperbanyak titik hitam pasukan kaum
muslimin. Maksud ‘titik hitam’ adalah bayangan kaum muslimin saat mereka
dilihat oleh pasukan musuh dari kejauhan. Hanya titik hitam.
Sekali
lagi, hanya titik hitam. Itulah kemampuannya. Itulah yang benar-benar ia
sumbangkan kepada agamanya. Itulah yang kemudian mengangkat derajatnya di mata
Allah swt. Itulah tahap prestasi hidupnya yang menjadikan kisah dan peran
hidupnya diingat orang lain. Bukan fisiknya dan bukan keadaan lahirnya.
Maka
sebenarnya tak ada keadaan yang bisa menjadi tembok penghalang bagi kita untuk
menjadi orang-orang besar.
Yakinlah
saudaraku,
Bahwa bagaimanapun penampakan dan kondisi lahir adalah urusan manusia yang sama
sekali tidak menjadi prestasi hidup kita sebenarnya. Dahulu, ketika orang
memandang Imam An Nawawi, umumnya mereka akan menduga Imam Nawawi sebagai orang
fakir miskin berasal dari desa dan layak diacuhkan. Namun ketika Imam Nawawi
mulai bercerita dan menyampaikan ilmunya, orang-orang akan takjub kepadanya,
seperti menyaksikan sebuah berlian yang tersingkap di hadapan mereka.
Kecerdasannya, sifat zuhud dan takwa yang begitu melekat pada dirinya.
Saudaraku,
Tanah yang tampak kotor bisa jadi merupakan tempat tersimpannya bongkahan emas.
Hanya saja kita sekarang sering tertipu dan mengikuti arus penilaian keindahan
melalui penampilan. Bertepuk tangan dan memuji orang yang berpenampilan bagus
dan menutup mata tentang apa yang ada di balik penampilan orang tersebut. Ingin
menjadi sosok yang dikagumi karena penampilan dan melupakan apa yang terjadi di
balik penampilan yang menarik itu. Padahal berapa banyak orang yang secara
lahir begitu mengesankan, namun perasaan orang itu kering, hatinya kusam,
pikirannya kalut dan bingung.
Dengarkanlah
dialog yang pernah terjadi antara Umar bin Khattab ra dengan Abu Ubaidah bin
Jarrah. Ibnu Syihab bercerita bahwa suatu saat Umar bin Khattab berangkat
menuju syam bersama dengan Abu Ubaidah bin Jarrah. Namun mereka terhadang arus
sungai. Umar kemudian turun dari untanya, melepaskan alas kaki dan
menggantungkannya di bahu. Kemudian ia memegang tali kekang untanya dan
menyebrangi sungai itu.
Melihat
hal tersebut, Abu Ubaidah berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kenapa engkau
melakukan hal itu? Menanggalkan alas kaki dan meletakkannya di atas bahumu lalu
engkau berjalan dengan untamu menyebrangi parit itu? Aku kira penduduk tidak
akan memuliakanmu karena apa yang engkau lakukan itu.” Umar berkata, “Ya Abu
Ubaidah, andai saja bukan engkau yang mengatakan hal itu, niscaya aku akan menghukummu
sebagai pelajaran bagi ummat Muhammad. Sesungguhya kita dahulu adalah kaum yang
hina lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Andai kita mencari kemuliaan di
luar kemuliaan yang Allah berikan, niscaya ia akan menghinakan kita.”
Saudaraku,
Kebesaran itulah yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam sebuah
nasihatnya. Menurut Ibnul Qayyim, kebesaran dan kemuliaan seseorang diukur dari
tingkat shiddiqnya dalam beribadah. “Jadilah engkau orang yang shiddiq dalam
beribadah. Jika Allah dab Rasul-Nya ada di satu sisi, berhati-hatilah agar kita
tidak berada di sisi yang lain… Jadilah engkau orang yang selalu berada di sisi
Allah dan Rasul-Nya berada di sana meski seluruh manusia ada di tepi yang
berbeda.”
Dalam
kitab Al Fawa-id, ia menguraikan, kita harus mengantisipasi kondisi bahwa
kebanyakan manusia akan berada di sisi yang berbeda dari sisi keberadaan Allah
dan Rasul-Nya. “Kebanyakan manusia berada di sisi yang berbeda, apalagi jika
kesenagan dan keinginan semakin menguat bisa saja engkau tidak mendapati
seorang pun yang berada di sisi keberadaan Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan orang
yang berada di sisi Allah dan Rasul-Nya bisa dianggap kurang akal, salah
memilih hingga menganggap mereka tidak waras. Seperti itulah warisan perkataan
yang ditinggalkan musuh para Rasul.”
Saudaraku,
Kita bisa menjadi orang besar itu. Selama kaki kita berpijak di jalan Allah dan
Rasul-Nya. Hidup ini, sejak lahir sampai mati, adalah rantai perjuangan yang
semakin lama semakin sulit dan tidak bisa kita hindari.
Tapi
sesungguhnya kebesaran hidup kita akan terbentuk lewat perjuangan kita
menghadapi rintangan dan tantangan yang semakin sulit itu.
Rubrik
Ruhani Majalah Tarbawi
Posting Komentar untuk "Menjadi Orang Besar"