Wasiat yang Tak Ternilai
Para ulama tidak pernah mati. Mereka mungkin mati secara
jasad, tapi pemikiran dan gagasannya akan selalu hidup. Merekalah para guru
yang telah banyak meninggalkan jejak dan catatan hidup. Mereka orang-orang yang
lebih banyak belajar bekerja daripada belajar berbicara. Mereka para ulama yang
kejernihan batinnya menjadikan jernih memandang keadaan. Mereka para pewaris
Rasulullah yang ketajaman pikirannya membuat penilaiannya tak pernah lepas dari
tuntunan Allah swt.
Tidak banyak para pendahulu kita yang memiliki
kebaikan-kebaikan seperti itu. Satu di antara yang sedikit itu adalah guru kita
Syaikh Ibnul Jauzi rahimahullah. Ia adalah salah satu ulama salaf ahli haditrs,
fiqh dan pendidikan yang pandangannya tertuang dalam banyak kitab karyanya.
Imam Ibnul Jauzi yang disebut juga dengan Abul Faraj begitu menggugah dalam
menasehati, hingga para khalifah banyak menganjurkan rakyatnya untuk mendengar
pelajaran dan nasehat dari Ibnul Jauzi. Salah satu kitabnya, Shaidul Khatir,
menyebutkan petikan-petikan pengalaman dan catatan hidupnya yang sangat dalam
maknanya.
Saudaraku,
Bayangkalah bila kita saat ini berada di hadapan Syaikh
yang ilmu serta perangainya sangat dihormati itu. Kita ingin menghirup dan
menelan sedikit dari pengalamannya yang tertuang dalam kitab Shaidul Khatir.
Dalam kitab itu, Ibnul Jauzi berkata pada dirinya: “Suatu
ketika, jiwaku mengelabuiku untuk memenuhi keinginan dengan memunculkan
penafsiran lintasan pikiran yang keliru. Maka kukatakan pada jiwaku: ‘Demi
Allah, hendaknya engkau bersabar. Jika engkau menginginkan sesuatu maka
timbanglah hasil sesuatu itu, lalu renungkan apa akibat dan apa manfaatnya.
Sedikitkanlah kemungkinan engkau menyesali apa yang engkau perbuat. Jangan
sampai pekerjaan itu akan menambah kemarahan Allah dan menjadikan Allah
menolakmu.”
“Ketahuilah wahai jiwaku, tidak ada sesuatu yang terjadi
karena kecerobohan. Timbangan keadilan itu akan bisa menangkap biji yang sangat
kecil sekalipun. Renungilah orang-orang yang sudah mati dan yang masih hidup.
Lihatlah siapakah orang-orang yang diingat kebaikannya dan keburukannya.
Sesungguhnya Allah itu Maha Cepat dalam menghisab.”
Saudaraku,
Jangan beranjak dulu. Ikuti lagi pengalaman yang dikatan
Syaikh Ibnul Jauzi rahimahullah.
“Aku pernah tertekan dengan masalah yang menjadikanku
selalu dalam kegelisahan. Aku berusaha sekuat tenaga agar terlepas dari jeratan
kegelisahan itu. Tapi upaya yang kulakukan itu sia-sia. Lalu aku membaca firman
Allah ini: “Dan barang siapa yang bertakwa pada Allah, maka ia akan diberikan
jalan keluar dan diberi rizki dari arah yang tidak diduga-duga.” (QS. Ath
Thalaq).
“Aku mengerti bahwa ketaqwaan merupakan jalan keluar dari
seluruh kegelisahan. Maka, selama aku ada di jalan memuwujudkan takwa, pasti
kudapati jalan keluar dalam menghadapi masalah apapun. Seorang makhluk tidak
boleh menyandarkan diri kecuali pada Allah. Allah-lah yang akan mencukupinya.
Seseorang bisa melakukan usaha apapun, akan tetapi hatinya tidak boleh
tergantung pada usaha itu. Hati-hatilah melanggar batasan Allah, sehingga
engkau menjadi hina di hadapan Allah dan kecil di hadapan makhluk-Nya.”
“Aku menemukan orang yang usianya disumbangkan untuk ilmu
hingga ia tua. Tapi ia melanggar larangan Allah. Jadilah ia dihinakan oleh
Allah dan dikecilkan oleh makhluk Allah. Mereka tidak menoleh padanya meskipun
ia orang yang luas ilmunya, kuat argumentasinya dalam berdebat. Aku juga
melihat ada orang yang berhati-hati dan merasa diawasi oleh Allah dalam
hidupnya. Ia juga mengutamakan tuntunan Allah meski ia tidak sebanding ilmunya
dengan orang alim tadi. Tapi Allah meninggikan kehormatannya dalam hati
makhluk-Nya sehingga ia dicintai banyak orang karena kebaikannya.”
“Aku pernah mengalami kesulitan dan kepayahan. Kemudian
aku perbanyak doa untuk memohon keselamatan dan ketenangan, tapi tampaknya
doaku tak kunjung dikabulkan sebagaimana harapanku. Jiwaku gelisah, lalu
kukatakan padanya dengan keras: “Celakalah engkau, periksalah keadaanmu. Apakah
engkau ini budak atau raja? Tidakkah engkau tahu bahwa dunia adalah tempat
ujian? Jika engkau ingin mendapat apa yang kau inginkan kemudian engkau tidak
bersabar tatkala engkau belum mencapainya, di manakah ujian hidup itu jadinya?
Engkau telah menginginkan sesuatu yang engkau tidak tahu akibatnya. Padahal
bisa saja sesuatu itu justru membahayakanmu. Allah berfirman: ‘Bisa saja engkau
membenci sesuatu padahal itu baik bagimu dan bisa saja engkau mencintai sesuatu
bagimu padahal itu buruk bagimu. Dan Allah yang Maha Mengetahui sedangkan
engkau tidak mengetahui.’(QS. Al Baqarah: 216).”
“Aku mengambil manfaat dari pengalaman hidup, bahwa
seseorang hendaknya tidak menampakkan permusuhan pada orang lain, sebisa
mungkin. Karena seseorang mungkin tidak menyangka bila ia memerlukan orang
seperti itu suatu waktu. Jika ternyata kita tidak memerlukan orang itu untuk
memberi manfaat bagi kita, setidaknya ia bisa menghindarkan bahaya.”
Saudaraku,
Demikianlah petikan pengalaman hidup seorang shalih.
Betapa banyak dan dalam makna yang diungkapkan dalam perkataan Imam Ibnul Jauzi
rahimahullah. Sungguh inilah wasiat dan peninggalan yang tak ternilai. Inilah
sebagian cahaya yang seharusnya kita pegang dalam meniti hidup kita.
Al Imam Ibnul Jauzi Abu Al Faraj, yang nasabnya terhubung
dengan sahabat Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddiq ra, wafat pada malam jum’at 12
Ramadhan 597 H/1201 M pada usianya yang hampir 90 tahun. Ia dimakamkan di Babul
Harb, Baghdad, dekat makam Imam besar Ahmad bin Hambal.
Semoga Allah memberikan balasan padanya karena berbagai
ilmu yang ia tinggalkan. Semoga kita diberi kekuatan tekad dan mampu mengikuti
jejak salafushalih.
Rubrik Ruhani Majalah Tarbawi.
Posting Komentar untuk "Wasiat yang Tak Ternilai"